Below is article that I steal from our national newspaper. What he wrote is so TRUE , even it's true, not everybody can take it yet understand it. The world still goes round, and those brainless people still mock uncommon people like me. Despite any enlightenment, nothing ever changed out there, it's what's in me that need to change - my mind.
Kompas
Minggu, 19 September 2010 | 03:18 WIB by SAMUEL MULIA
Saya sedang duduk di tepi pantai di atas kursi panjang. Deburan air laut terdengar diselingi suara burung. Langit pulau dewata, seperti biasa, biru bersih dan indah. Angin sepoi-sepoi menciumi kulit dan makin membuat rasa malas itu menjadi-jadi.
Entah mengapa, di tengah suasana itu, saya teringat akan pesan dari seorang asisten desainer yang sangat rajin menyirami saya dengan pesan-pesan mulia yang menyemangati dan menggampar pada waktu yang bersamaan. Begini pesan mulia itu. ”I can accept failure but I can not accept not trying”.
Gagal
Kalimat itu menerbangkan saya pada masa lalu yang menjengkelkan karena trauma masa kecil oleh kepala sekolah yang membuat saya merasa ia harus bertanggung jawab terhadap ketidakmampuan saya memiliki kepercayaan diri sekarang ini untuk berani mencoba; karena tak bisa atau tak mau melihat dan menghargai kalau saya ini sudah mencoba dan gagal menjadi murid pandai.
Ada teman saya yang mengomentari saat saya berkeluh kesah soal yang satu ini. ”Kan, kamu sudah dewasa sekarang. Elo dong yang juga bersikap dewasa.” Benarkah demikian? Benarkah saya yang sekarang ini bisa tidak keder hanya karena saya dewasa dan bisa berpikir untuk tidak keder tanpa mengingat bahwa fondasi saya yang sesungguhnya begitu kedernya?
Kalau saya tak bisa matematika dan sudah mencoba dan ternyata hasilnya cuma ya.., gitu deh, mengapa saya dikelompokkan menjadi murid tidak pandai? Tak hanya guru di sekolah. Ayah saya saja pernah menggertak dan naik pitam karena saya tak bisa menjawab pertanyaan ilmu pengetahuan alam yang disodorkan kepada saya. Saya sudah berusaha, tetapi tak bisa.
Kemampuan saya tak pada yang eksak, tetapi pada yang tidak eksak, yang umumnya sangat tidak dihargai sebagai juara kelas. Namun, sepertinya ia tak mau tahu. Maka, ia berteriak dan saya makin tak bisa menjawab.
Kemudian saya berpikir, apakah quote-quote indah yang mengajarkan berpikir positif itu benar adanya? I can accept failure, misalnya. Saya, sih, bisa-bisa saja menerima kegagalan. Itu sudah pasti. Lha, wong hidup saya sendiri, kok. Akan tetapi, masalahnya, apakah guru, kepala sekolah, dan ayah saya mau menerima kalau saya gagal?
Tetap gagal
Menurut pengalaman saya, sih, mereka tidak mau dan tidak bisa menerima. Buktinya? Pengelompokan terhadap murid pandai dan tidak, saya di-kumon-kan (meminjam istilah sekarang) supaya saya bisa sama pandainya dengan anak tetangga dan, kalau sudah semua dilakukan dan saya tetap gagal, mereka kemudian berteriak begini. ”Gitu aja ndak bisa.”
Saya jadi teringat akan obrolan dengan seorang teman beberapa hari sebelum peluncuran film perdana pada akhir bulan lalu, di mana saya berperan sebagai bintang utama sebuah film semidokumenter. Begini ia mengirim pesannya. ”Bagaimana, uda siap dihina tanggal 31? Ha-ha sudah siaplah. Orang dari lahir juga selalu dihina-hinakan ha-ha-ha-ha.” Kemudian pesannya dilanjutkan begini. ”Aku sih berdoa sukseslah. You have to start from nothing to become something.”
Saya hanya berpikir, kalau seandainya guru dan ayah saya bisa berpikir seperti teman saya, mungkin saya menjadi orang yang paling berbahagia. Berbahagia karena dihargai karena mencoba dari nol dari nothing, bukan dinilai karena bermain buruk. Dinilai karena saya berani mencoba, bukan takut kalau hasilnya tidak menyenangkan banyak orang dan kemudian merasa tertekan pada akhirnya.
I can not accept not trying. Kalau dari kacamata saya sebagai yang tertindas, saya setuju bahwa semua orang harusnya mau melihat bahwa saya sudah mencoba. Namun, apakah guru dan kepala sekolah serta ayah saya bisa setuju dengan kalimat itu? Persis seperti quote lain macam begini. The most important thing is not the destination but the journey.
Benarkah guru, ayah saya, dan orang lain mau menghargai the journey, dan the trying-nya itu, dan bukan hanya semata-mata destinasinya alias hasil akhirnya?
Itu mengapa saya harus berpikir untuk tidak keder meski sejujurnya saya selalu keder. Maka, saya mengerti mengapa kalau dalam seminar saya takut bertanya, takut mengungkapkan ide saya, takut di suruh duduk di depan. Karena saya sudah terbiasa untuk tidak dihargai karena trying-nya.
Saya takut dianggap goblok memberi ide yang mungkin tak pernah terlintas dan tak biasa dilakukan, apalagi berhadapan dengan manusia yang tak pernah mau menerima kegagalan karena hidupnya tak pernah gagal, dan tak bisa menerima bahwa manusia itu bisa saja punya rambut sama hitam, tetapinya IQ-nya macam-macam. Dari yang jongkok sampai yang bisa kayang.
Itu yang membuat saya mulai berpikir, mengapa quote-quote itu acapkali dalam bentuk sebuah kalimat yang indah didengar, indah untuk dimengerti, dan menyemangati pada waktu bersamaan. Mungkin karena yang membuatnya pernah mengalami perlakuan yang ”tidak senonoh”. Dan, sayangnya, yang menghargai kalimat macam itu adalah manusia macam saya; bukan mereka yang pernah mengalami, tetapi tak mau menghargai the journey dan the trying itu.