Thursday, September 30, 2010

ช่วงที่ดีที่สุด - chûang têe dee têe sùt - the best moments

This song has been played on "repeat" mode for days. Despite my inability to understand any words of the lyrics, I still fell in love with the song.
Thanks to EL, I had  a preview of what the song actually meant.

It's amazing that I fell in love with the song without knowing its meaning, yet the song speak what i have in mind.
Damn you BOYdpod, you guys are so good.
*First, I thought it's a boyband, apparently they are no longer boys*

Btw, the lyricstranslates to something like this...
Love is easy during the happy times. But when things get rough, it's hard but memorable at the same time. These difficult times show how much two people love each other. It's just a great feeling when you look back at them to see how you could get through it. After things ended, the past memories can come and haunt you once in a while. Good memories can hurt. Bad memories can hurt even more. But it's definitely worthwhile that, once in your life, you have lived through these "best moments".

Thursday, September 23, 2010

Songs in Translation

This is my friend’s “comment” about my latest craze of Thai songs.

Errr… about the fuck-ass thingy, maybe they do it, but not sure if they’d sing it.
I’ll try to find out. For this time being, I’ll enjoy the songs despite of their meanings. Thai songs are nice, k?

Monday, September 20, 2010

Mencoba by Samuel Mulia

Below is article that I steal from our national newspaper. What he wrote is so TRUE , even it's true, not everybody can take it yet understand it. The world still goes round, and those brainless people still mock uncommon people like me. Despite any enlightenment, nothing ever changed out there, it's what's in me that need to change - my mind.

Kompas
Minggu, 19 September 2010 | 03:18 WIB by  SAMUEL MULIA

Saya sedang duduk di tepi pantai di atas kursi panjang. Deburan air laut terdengar diselingi suara burung. Langit pulau dewata, seperti biasa, biru bersih dan indah. Angin sepoi-sepoi menciumi kulit dan makin membuat rasa malas itu menjadi-jadi.
Entah mengapa, di tengah suasana itu, saya teringat akan pesan dari seorang asisten desainer yang sangat rajin menyirami saya dengan pesan-pesan mulia yang menyemangati dan menggampar pada waktu yang bersamaan. Begini pesan mulia itu. ”I can accept failure but I can not accept not trying”.
Gagal
Kalimat itu menerbangkan saya pada masa lalu yang menjengkelkan karena trauma masa kecil oleh kepala sekolah yang membuat saya merasa ia harus bertanggung jawab terhadap ketidakmampuan saya memiliki kepercayaan diri sekarang ini untuk berani mencoba; karena tak bisa atau tak mau melihat dan menghargai kalau saya ini sudah mencoba dan gagal menjadi murid pandai.
Ada teman saya yang mengomentari saat saya berkeluh kesah soal yang satu ini. ”Kan, kamu sudah dewasa sekarang. Elo dong yang juga bersikap dewasa.” Benarkah demikian? Benarkah saya yang sekarang ini bisa tidak keder hanya karena saya dewasa dan bisa berpikir untuk tidak keder tanpa mengingat bahwa fondasi saya yang sesungguhnya begitu kedernya?
Kalau saya tak bisa matematika dan sudah mencoba dan ternyata hasilnya cuma ya.., gitu deh, mengapa saya dikelompokkan menjadi murid tidak pandai? Tak hanya guru di sekolah. Ayah saya saja pernah menggertak dan naik pitam karena saya tak bisa menjawab pertanyaan ilmu pengetahuan alam yang disodorkan kepada saya. Saya sudah berusaha, tetapi tak bisa.
Kemampuan saya tak pada yang eksak, tetapi pada yang tidak eksak, yang umumnya sangat tidak dihargai sebagai juara kelas. Namun, sepertinya ia tak mau tahu. Maka, ia berteriak dan saya makin tak bisa menjawab.
Kemudian saya berpikir, apakah quote-quote indah yang mengajarkan berpikir positif itu benar adanya? I can accept failure, misalnya. Saya, sih, bisa-bisa saja menerima kegagalan. Itu sudah pasti. Lha, wong hidup saya sendiri, kok. Akan tetapi, masalahnya, apakah guru, kepala sekolah, dan ayah saya mau menerima kalau saya gagal?
Tetap gagal
Menurut pengalaman saya, sih, mereka tidak mau dan tidak bisa menerima. Buktinya? Pengelompokan terhadap murid pandai dan tidak, saya di-kumon-kan (meminjam istilah sekarang) supaya saya bisa sama pandainya dengan anak tetangga dan, kalau sudah semua dilakukan dan saya tetap gagal, mereka kemudian berteriak begini. ”Gitu aja ndak bisa.”
Saya jadi teringat akan obrolan dengan seorang teman beberapa hari sebelum peluncuran film perdana pada akhir bulan lalu, di mana saya berperan sebagai bintang utama sebuah film semidokumenter. Begini ia mengirim pesannya. ”Bagaimana, uda siap dihina tanggal 31? Ha-ha sudah siaplah. Orang dari lahir juga selalu dihina-hinakan ha-ha-ha-ha.” Kemudian pesannya dilanjutkan begini. ”Aku sih berdoa sukseslah. You have to start from nothing to become something.”
Saya hanya berpikir, kalau seandainya guru dan ayah saya bisa berpikir seperti teman saya, mungkin saya menjadi orang yang paling berbahagia. Berbahagia karena dihargai karena mencoba dari nol dari nothing, bukan dinilai karena bermain buruk. Dinilai karena saya berani mencoba, bukan takut kalau hasilnya tidak menyenangkan banyak orang dan kemudian merasa tertekan pada akhirnya.
I can not accept not trying. Kalau dari kacamata saya sebagai yang tertindas, saya setuju bahwa semua orang harusnya mau melihat bahwa saya sudah mencoba. Namun, apakah guru dan kepala sekolah serta ayah saya bisa setuju dengan kalimat itu? Persis seperti quote lain macam begini. The most important thing is not the destination but the journey.
Benarkah guru, ayah saya, dan orang lain mau menghargai the journey, dan the trying-nya itu, dan bukan hanya semata-mata destinasinya alias hasil akhirnya?
Itu mengapa saya harus berpikir untuk tidak keder meski sejujurnya saya selalu keder. Maka, saya mengerti mengapa kalau dalam seminar saya takut bertanya, takut mengungkapkan ide saya, takut di suruh duduk di depan. Karena saya sudah terbiasa untuk tidak dihargai karena trying-nya.
Saya takut dianggap goblok memberi ide yang mungkin tak pernah terlintas dan tak biasa dilakukan, apalagi berhadapan dengan manusia yang tak pernah mau menerima kegagalan karena hidupnya tak pernah gagal, dan tak bisa menerima bahwa manusia itu bisa saja punya rambut sama hitam, tetapinya IQ-nya macam-macam. Dari yang jongkok sampai yang bisa kayang.
Itu yang membuat saya mulai berpikir, mengapa quote-quote itu acapkali dalam bentuk sebuah kalimat yang indah didengar, indah untuk dimengerti, dan menyemangati pada waktu bersamaan. Mungkin karena yang membuatnya pernah mengalami perlakuan yang ”tidak senonoh”. Dan, sayangnya, yang menghargai kalimat macam itu adalah manusia macam saya; bukan mereka yang pernah mengalami, tetapi tak mau menghargai the journey dan the trying itu.

Tuesday, September 14, 2010

Cool Hairstyle

Cool hairstyle not only for celebs.
Look at this big puppy's hairstyle, quite a match for Beckham's huh?
Btw, this one is natural, he didn't go to pet salon for the stylish look.

Sunday, September 12, 2010

no-sex taxi :(

OK,
- no foods
- no dogs
- no goats
- no weapons;
in the taxi, I can understand that. I have no problem with that.

But NO SEX IN THE CAB, that's a torture!!!
Arrrggghhhh.... plus traffic-jam
Oh Dear, why did I get this cab...
*sob sob sob*

The WangNoi Invasion

Was attacked by troops of WangNoi mosquitoes. Time of the attack is suspected around night time, though there were around-the-clock attacks was possible. Despite of the reinforced-net-shield, the troops was still able to penetrate. Resulting in total 56 bombings, with 19 bombs landed on right shoulder even though the area was protected by clothing (see picture).
The rest of the bomb scattered mostly around foot and arms.
There are also some nearly-impossible attacks on waist, butt and thigh;  method of the attack was suspected to be guerrilla in split-second of shower time.

Purpose of the attacks:
It was believed to fulfill the troops necessity of blood-supply for their future reproduction

The Revolution:
After 1st attack, victim became well-aware of the situation and was armed with anti-mosquito biochemical-weapon. The weapon was not 100% effective; but together with the reinforced-net-shield, it decreased the brutality of the attacks in great scale

Recent Development:
The itching caused by bombings are no longer severe
But the physical scars caused by the attack will linger longer
Local pharmacies have been consulted to ease the pain and scar
Thus, a series of post-trauma treatments has been implemented